Tentangsinopsis.com – Sinopsis The Glory Episode 5 Part 1 , Cara pintas untuk menemukan spoilers lengkapnya ada di tulisan yang ini. Baca episode berikutnya DISINI
Nyonya Park keluar dari rumah cenayang di yeonhwadang.
Dia tak sendiri, dia ditemani Kepala Polisi Shin Yeong Jun.
*Ternyata dia Kepala Polisi guys, bukan Wakil Kepala Sekolah.
Hyeon Nam di mobilnya, mengenakan kacamata hitam dan memotret mereka. Nyonya Park dan Kepala Shin berpisah. Mereka menuju mobil mereka masing-masing. Hyeon Nam pun kebingungan harus memotret yang mana karena mobil mereka diparkir berlawanan arah. Hyeon Nam melepas kacamatanya dan terus memotret sebanyak mungkin. Mereka pun pergi.
Hyeon Nam melihat hasil fotonya dan menghela nafas. Saat mau pergi, dia melihat matahari terbenam.
Hyeon Nam : Matahari terbenam itu sangat memesona.
Dong Eun sedang makan kimbap segitiga di depan jendela toserba.
Tak lama, sebuah mobil berhenti tepat di depannya. Do Yeong turun dari mobil dan terdiam menatap Dong Eun.
Do Yeong kemudian masuk dan menghampiri Dong Eun.
Do Yeong : Kau beli dengan uang kemenangan dariku?
Dong Eun : Tidak, kubeli dengan uangku. Kau mau?
Dong Eun meletakkan kimbapnya yang satu lagi ke depan Do Yeong.
Do Yeong tanya lagi, suka judi jenis lain juga?
Dong Eun : Aku pernah pertaruhkan seluruh hidupku.
Do Yeong : Kau menang?
Dong Eun : Rencanaku begitu.
Do Yeong terdiam lagi, setelah mendengar jawaban Dong Eun.
Tapi tak lama, dia bertanya lagi.
Do Yeong : Rumahmu dekat sini? Aku melihatmu beberapa kali di klub Go.
Dong Eun : Rumahmu dekat sini?
Do Yeong : Tak jauh. Kerja dekat sini?
Dong Eun melihat kimbapnya tak disentuh Do Yeong.
Dong Eun : Kenapa tak makan? Tak suka makanan dari toserba?
Do Yeong : Bukan itu. Aku kurangi karbohidrat. Aku belum mendapat jawaban.
Dong Eun : Apa kau biasa penuh pertanyaan?
Do Yeong : Biasanya aku pendiam, percaya atau tidak. Kenapa kau suka bermain Go?
Dong Eun : Karena aku suka harus berjuang mati-matian tanpa suara. Aku juga suka, agar menang, harus menghancurkan rumah yang hati-hati dibangun lawan.
Dong Eun pun menatap pantulan bayangan Do Yeong di jendela toserba.
Do Yeong melihat itu dan mengalihkan pandangannya ke jendela toserba.
Mereka terdiam sejenak.
Tak lama, Do Yeong mengajak Dong Eun main Go sesekali.
Do Yeong lalu memberi Dong Eun kartu namanya.
Do Yeong : Kini aku tahu kau suka makan apa dan caramu bermain.
Do Yeong juga mengenalkan dirinya.
Dong Eun cuek : Lain kali bawa uang lebih banyak. Tak kau makan, bukan?
Dong Eun mengambil kimbapnya tadi dan beranjak pergi.
Seseorang memotret mereka.
Pagi-pagi buta, Dong Eun sudah ada di rooftop. Dia tengah menatap bunga trompet iblis sambil mengunyah kimbap. Lalu halmeoni pemilik apartemen datang.
Halmeoni : Itu sarapanmu? Kau di sini setiap pagi. Kau tak memasak?
Dong Eun pun berdiri dan menghampiri halmeoni.
Dong Eun : Kau sudah makan?
Halmeoni : Kau bekerja di SD Semyeong? Aku melihat stiker di mobilmu. Pekerjaanmu bagus.
Dong Eun : Boleh aku tanya sesuatu? Kau pemilik Real Estat Semyeong, bukan? Kurasa aku melihatmu di sana saat pertama datang mencari tempat.
Halmeoni : Aku ada di sana.
Dong Eun : Saat tinggal di sini, aku sadar tempatku jauh lebih murah dari apartemen lainnya. Kenapa kau lakukan itu?
Halmeoni : Murah itu bagus. Kenapa kau tanyakan? Gaji guru itu kecil.
Dong Eun : Saat itu, kau tak tahu aku seorang guru. Maaf aku menanyakan hal begini, tetapi… apa apartemen itu berhantu?
Halmeoni : Apa? Tadinya kukira kau orang yang dingin. Aku suka kau begini. Jangan tinggalkan sampahmu di sini. Bawa turun.
Halmeoni masuk ke dalam.
Hari sudah malam. Dong Eun memeriksa laci mobil. Ada amplop dan pesan dari Hyeon Nam.
Hyeon Nam : Ini resi untuk parkir, bensin, dan pengeluaran lain bulan ini. Maaf, tampaknya balas dendam cukup mahal.
Dong Eun mengambil isi amplop. Kartu SD.
Dong Eun lalu membalas pesan Hyeon Nam.
Paginya, Hyeon Nam menemukan pesan Dong Eun, serta beberapa biaya untuk parkir bulanan, bensin dan pengeluaran lain.
Dong Eun : Selama usia 20-an, kuberi les agar bisa pakai uangku untuk ini. Tabunganku cukup. Jangan cemas.
Hyeon Nam pun kembali menuliskan pesan.
Hyeon Nam : Mengikuti mereka, kudapati Hye Jeong yang paling mudah dibaca. Dia selalu pakai ponsel. Aku berpikir untuk mencuri ponselnya. Kurasa aku cukup berbakat…
Malamnya, Dong Eun melihat pesan Hyeon Nam. Tapi tiba2, dia membuka pintu dan mengarahkan pesan Hyeon Nam ke sinar lampu. Ternyata ada tulisan yang dicoret Hyeon Nam. Dong Eun tertawa saat berhasil membacanya dengan bantuan sinar lampu.
Hyeon Nam : Kurasa aku cukup berbakat.
Dong Eun menulis lagi, apakah itu mungkin?
Hyeon Nam : Serahkan kepadaku. Apa kau bertemu Park Yeon Jin? Tak ada masalah, bukan?
Dong Eun : Mau bertemu?
Hyeon Nam senang di ajak bertemu.
Mereka bertemu malam harinya.
Hyeon Nam cemas, kau tak takut atau terintimidasi? Seharusnya kau remukkan semangatnya seperti kertas bekas!
Dong Eun : Kulakukan salah satunya.
Hyeon Nam : Itu bagus. Aku bangga kepadamu. Aku sangat cemas. Kau tahu ibu Park Yeon Jin?
Hyeon Nam menunjukkan foto Nyonya Park dan Kepala Polisi Shin yang dimbilnya.
Hyeon Nam : Fotonya agak buram. Dia juga ke dukun bulan ini. Tiap dua minggu seperti biasa. Dengan pria itu lagi. Kukira mereka mungkin berkencan, tetapi pergi dengan mobil terpisah. Datang juga sendiri-sendiri.
Dong Eun : Pasti ada alasan jika ada pola. Kabari jika kau tahu sesuatu. Apa kau membuntuti pria ini?
Hyeon Nam : Membuntutinya?
Dong Eun : Jangan ikuti orang ini. Aku tak beri tahu karena nanti kau takut, tetapi dia polisi. Dahulu dia Kepala Polisi, kini pasti lebih tinggi.
Hyeon Nam : Dia Asisten Kepala di Kepolisian Provinsi Bukbu. Teman sekelasnya sudah jadi Wakil Kepala, tetapi dia kurang bagus.
Dong Eun : Bagaimana kau tahu?
Hyeon Nam : Kau tak lihat resi kedai seolleongtang? Aku memilih empat kedai seolleongtang di depan kantor dan menunggu di sana.
Dong Eun : Saat kau pertama mengancamku, aku salah menilai orang, ya?
Hyeon Nam : Apa?
Dong Eun : Jangan kena bahaya.
Hyeon Nam : Baiklah. Bisa lihat kemari sebentar? Anggap saja pekerjaan.
Hyeon Nam mengarahkan kameranya ke Dong Eun.
Dong Eun : Tunggu, aku…
Hyeon Nam menjepret Dong Eun. Dong Eun reflek mengalihkan pandangannya dan memejamkan matanya karena blitz kamera. Dia teringat masa lalunya saat dokter UKS memfoto seluruh tubuhnya yang penuh luka. Tangis Dong Eun pecah saat itu.
Melihat itu, Hyeon Nam cemas.
Hyeon Nam : Ada apa? Kau baik-baik saja?
Dong Eun pun membuka matanya. Keringat tampak mengaliri keninggnya.
Dong Eun : Maafkan aku.
Hyeon Nam : Kini aku pandai memotret bunga dan burung, tetapi tanganku mulai berkeringat saat memotret orang.
Hyeon Nam : Tak apa-apa. Sekali lagi. Akan kucoba sekali lagi.
Hyeon Nam memotret Dong Eun.
Yeon Jin lagi2 gelisah. Dia mondar mandir di ruang gantinya. Tak lama, dia teringat sesuatu. Yeon Jin membuka laci pakaiannya dan mengambil jaket gucci berwarna merah yang terlipat rapi di dalam sebuah kotak. Yeon Jin ingat itu jaket yang diberikan ibu mertuanya pada Ye Sol, saat dia baru melahirkan Ye Sol.
Nyonya Ha : Ini Gucci pertamamu, Ye Sol-ah. Kau suka hadiah Nenek? Ya?
Yeon Jin dan pengasuh Ye Sol langsung menatap Nyonya Ha.
Nyonya Ha tahu itu, “Bayi tak tahu apa-apa. Dia bahkan tak akan memakainya selama sebulan.”
Nyonya Ha menatap pengasuh Ye Sol. Padahal pengasuh Ye Sol tak bilang apa2.
Nyonya Ha : Benar?
Pengasuh Ye Sol heran, apa?
Nyonya Ha : Kau hidup seperti itu karena itulah cara berpikirmu. Awal yang berbeda membawamu ke tujuan berbeda.
Nyonya Ha lantas menyuruh Yeon Jin mencari pengasuh baru untuk Ye Sol.
Yeon Jin terpaksa menurut dan memecat pengasuh Ye Sol.
Yeon Jin : Gajimu dan biaya lainnya akan disetorkan ke rekeningmu. Terima kasih atas bantuanmu.
Pengasuh Ye Sol hanya bisa menghela nafas kesal. Lalu dia pergi.
Nyonya Ha menyuruh Yeon Jin menyimpan jaket itu baik-baik dan memastikan Ye Sol membawa jaket itu saat dewasa nanti.
Nyonya Ha : Dia akan ingat untuk berusaha sekuat tenaga seperti saat dia lahir. Sama dengan Do Yeong.
Yeon Jin terpaksa mengiyakan.
Nyonya Ha menatap Ye Sol lagi.
Nyonya Ha : Sayang! Ye Sol-ah, panggil “Nenek”.
Flashbaack end….
Yeon Jin membuang jaket itu ke tong sampah.
Yeon Jin : Ye Sol tak perlu berusaha sekuat tenaga seperti saat dia lahir.
Yeon Jin lalu menghubungi Kepala Sekolah.
Yeon Jin : Apa kabar, Pak Kepala Sekolah? Bisa bertemu sebentar? Ya, sekarang.
Yeon Jin pun di ruangan Kepala Sekolah sekarang.
kepala Sekolah : Bu Moon Dong Eun? Direktur Kim merekomendasikannya. Kami sempat kesulitan setelah Pak Yang mendadak berhenti…
Yeon Jin : Tunggu. Maksudmu Dong Eun mengenal Direktur? Bagaimana bisa?
Kepala Sekolah : Aku tak yakin soal itu.
Yeon Jin : Apa itu berarti dia tak punya kualifikasi?
Kepala Sekolah : Bukan begitu. Sudah kami teliti sendiri, resumenya hebat. Anehnya, jarang ada guru dari sekolah negeri pindah ke sekolah swasta.
Yeon Jin : Boleh aku melihat resumenya?
Kepala Sekolah : Itu… Kami harus hati-hati dengan informasi pribadi sekarang ini.
Yeon Jin : Tentu. Aku tahu. Aku tak bisa begitu. Jadi, kau bisa pegang saja resumenya, selagi kuintip sebentar. Bagaimana?
Dong Eun lagi mengawasi murid-muridnya yang tengah melukis.
Tapi tiba2, Ye Sol bertengkar sama temannya soal warna.
Temannya bilang Ye Sol salah.
“Jangan diwarnai begitu!”
Dong Eun mendekati mereka, membawa gunting kecil.
“Bu Moon, harus pakai warna merah muda untuk bunga sakura, bukan?” tanya temennya Ye Sol.
“Aku boleh warnai sesukaku. Bunga sakuraku berwarna transparan.” jawab Ye Sol.
“Tak ada yang seperti itu. Bu Moon. Ye Sol salah, bukan?”
Dong Eun menengahi mereka.
Dong Eun : Bunga tulip Seung A tampak indah karena penuh warna, dan bunga sakura Ye Sol tampak indah karena kosong. Ibu rasa dua-duanya bagus. Mari selesaikan gambar kita.
Dong Eun melihat ada Yeon Jin di depan pintu.
Dong Eun yang memegang gunting, memegang bahu Ye Sol. Sontak Yeon Jin kaget melihatnya, terlebih Dong Eun memegang gunting.
Sekarang, Dong Eun dan Yeon Jin bicara berdua.
Yeon Jin menatap Dong Eun lekat2.
Yeon Jin : Berapa? Hentikan omong kosongmu dan minta uang saja. Akan kuberi berapa pun yang kau mau. Akan kuganti semua kerugian mental dan fisikmu. Kau baru dapat banyak uang.
Yeon Jin mengambil kertas di meja Dong Eun. Lalu dia menaruh kertas itu di meja murid di sampingnya.
Dong Eun : Mau aku tulis sesuatu?
Yeon Jin : “Aku tak akan pernah muncul di hadapanmu sampai aku mati.” Aku mau secara tertulis dan ditandatangani. Seperti ibumu menandatangani formulir putus sekolahmu. Aku tak paham kenapa orang sepertimu melampiaskannya ke orang yang salah, saat orang tua yang paling menyakiti. Tak usah malu-malu. Katakan berapa maumu.
Dong Eun menahan amarahnya menatap Yeon Jin.
Yeon Jin : Tunggu, kau bukan melakukan ini agar orang minta maaf, ya? Usiamu hampir 40 tahun. Apa itu tak seperti dongeng? Semua sudah berlalu! Kini tak ada yang bisa kuubah lagi. Bukan?
Dong Eun : Tentu tidak. Jangan minta maaf. Aku tak pertaruhkan usia remaja, 20-an, dan 30-an hanya untuk permintaan maaf. Kau harus dihukum. Hukuman pidana jika Tuhan memihakmu, dan hukuman nasib jika Tuhan memihakku.
Yeon Jin tertawa, Tuhan? Jadi, kita bicara soal Alkitab, bukan dongeng? Tuhan apa? Bukan Tuhanku. Kau menyandera putri seseorang. Apa? Kau pikir Tuhan akan memihakmu?
Dong Eun : Menyandera? Aku? Apa yang kulakukan? Apa aku mencekik Ye Sol? Memukul dadanya? Apa aku menamparnya? Atau aku membakarnya dengan sesuatu yang panas. Apa yang kulakukan kepada Ye Sol?
Yeon Jin tak bisa berkata2 mendengar kalimat Dong Eun.
Lalu Dong Eun menunjukkan gambar Ye Sol.
Dong Eun : Aku mencoba menyemangati orang yang hidup di dunia di mana kau tak bisa paham bagaimana pelangi punya tujuh warna atau melihat buah yang ranum. Karena warna tak penting di kelasku. Namun, mereka mungkin agak merugikanmu, itu saja.
Yeon Jin melihat gambar Ye Sol. Lalu tak lama, dia sadar Dong Eun tahu Ye Sol buta warna.
Yeon Jin kaget, bagaimana… Bagaimana kau tahu?
Dong Eun : Aku tak akan menyakiti Ye Sol. Banyak hal lain yang bisa kulakukan. Misalnya, pertemuan orang tua dan guru. Namun, kau tahu, bukan hanya ibu yang datang ke pertemuan, bukan? Jangan pernah mengujiku lagi soal sejauh apa tindakanku atau sejauh apa aku bisa mendesakmu. Aku ingin kau layu perlahan-lahan, dalam jangka waktu lama. Mari kita layu dan mati bersama perlahan-lahan, Yeon Jin-ah. Aku sangat senang sekarang.
Guru Chu tak sengaja lewat dan melihat mereka.
Guru Chu : Adegan yang menarik. Entah soal apa itu.
Jae Jun lagi perawatan muka.
Tapi tiba2, dia berbicara sendiri.
Jae Jun : Hei, Bixby. Panggil “Bajingan”.
Ternyata dia bicara dengan ponselnya. Ponselnya menelpon ‘bajingan’ secara otomatis. Bajingan? Siapa lagi kalau bukan Myeong O. Jae Jun pun kesal karena Myeong O tak bisa dihubungi. Dia melepas masker timunnya dan duduk.
Jae Jun : Apa bajingan itu benar-benar sudah gila?
Jae Jun menuju mobilnya. Supirnya bilang, ada paket untuk Jae Jun.
Jae Jun membukanya. Isinya, sikat gigi Ye Sol.
Jae Jun bingung.
Kamera menyorot sikat gigi anak-anak di sekolah.
Sikat gigi Ye Sol hilang!
Do Yeong masuk ke ruangannya dan melihat ada Yeon Jin di sana. Yeon Jin berdiri di depan jendelanya. Do Yeong melepas seragam pabriknya dan menggantungnya.
Do Yeong : Tampaknya kantor sekretaris tak kompeten. Orang luar tak boleh masuk.
Yeon Jin mendekati Do Yeong. Dia merangkul Do Yeong.
Yeon Jin : Kau menghasilkan banyak uang? Aku suka saat kau memakai baju kerjamu, lebih dari saat kau memakai jas. Lebih seksi.
Do Yeong : Kau baru buat Zegna dan Versace bangkrut.
Yeon Jin : Do Yeong, apa kita mau kirim Ye Sol sekolah di luar negeri saja?
Do Yeong : Apa maksudmu?
Do Yeong beranjak ke mejanya.
Do Yeong : Usia Ye Sol baru delapan tahun.
Yeon Jin : Kini ada wali profesional, banyak yang dikirim sejak kecil.
Do Yeong : Dari mana ide ini? Kau mau keluar negeri?
Yeon Jin duduk di meja Do Yeong.
Yeon Jin : Bukan begitu.
Do Yeong : Maka itu bahkan lebih aneh. Kau kirim dia ke sekolah terdekat dengan sopir dan pengasuh. Kini mau kirim ke luar negeri?
Yeon Jin : Oppa, kau sering main golf dengan Direktur Kim belakangan ini? Bisa bantu aku bertemu dia sekali saja? Ye Sol punya wali kelas baru dan dia gila.
Do Yeong : Kenapa dia gila? Cukup gila untuk melibatkan direktur? Aku perlu tahu lebih mendetail.
Yeon Jin tak bisa menceritakan siapa Wali Kelas Ye Sol dan apa alasannya.
Yeon Jin : Lupakan saja. Jangan cemas. Aku agak emosional karena sedang lelah. Aku langsung kerja dari rumah Ibu. Nanti kutelepon.
Yeon Jin beranjak pergi.
Nyonya Park sibuk main golf. Hari sudah malam. Di belakangnya, Yeon Jin bicara dengan Kepala Shin
Yeon Jin memberikan foto dan data Dong Eun pada Kepala Shin.
Yeon Jin : Keuangan, pacar, dan anggota keluarga. Teman, rekan kerja, bahkan kerabat jauh. Cari tahu semua tentang dia.
Kepala Shin : Bagus! Ibumu masukkan 90 kemarin. Moon Dong Eun? Siapa dia?
Ponsel Yeon Jin berbunyi. Dari Jae Jun.
Yeon Jin membalik ponselnya.
Yeon Jin : Itu yang kuminta kau cari tahu. Apa yang kutahu tentang dia tak berarti saat ini.
Ketel Dong Eun berbunyi, tapi Dong Eun diam saja menatap ketelnya.
Lalu Dong Eun mengarahkan tangannya ke ketel yang panas.
Yeo Jeong menemui psikiater.
Psikiater : Tablet vitamin berbuih?
Yeo Jeong : Ya. Kau tahu buihnya mulai muncul saat kau masukkan tabletnya ke air? Aku merasa lebih tenang saat mendengar suara itu.
Psikiater : Menurutmu kenapa suara itu membantumu merasa tenang?
Yeo Jeong : Mirip suara angin sepoi-sepoi bertiup di pohon ginkgo. Juga mirip tetesan air hujan di atas papan Go. Jika terus mendengarkannya, aku mulai merasa kesepian. Semacam itu.
Psikiater : Jadi, tubuhmu makin sehat, tetapi hatimu kesepian. Kau bisa coba mengubah lingkunganmu. Seperti pindah rumah atau bepergian.
Yeo Jeong : Akan kupertimbangkan. Aku juga ada pasien.
Psikiater : Kau pasti dokter yang baik. Kau selalu terlambat kemari.
Yeo Jeong : Bayaranmu per jam. Kau untung jika aku telat.
Yeo Jeong pergi.
Yeo Jeong tengah memeriksa benjolan di kening pasiennya. Setelah itu Yeo Jeong bilang mereka melakukan pindai CT, tetapi jika terasa keras, ada kemungkinan osteoma.
Si pasien tanya apa dia harus dioperasi karena benjolannya tak sakit.
Yeo Jeong mulai menuliskan resep.
Yeo Jeong : Mungkin belum ada gejala sekarang, tetapi nantinya bisa mulai sakit.
Pasien tanya lagi jika dia dioperasi, harus berapa lama dia di rumah sakit?
Pasien : Aku guru sekolah, jadi sebaiknya saat libur.
Yeo Jeong : Pemeriksaan dan operasi akan memakan waktu seminggu. Kau seorang guru?
Pasien : Ya.
Yeo Jeong langsung bersemangat.
Yeo Jeong : Di sekolah mana? Seperti apa rasanya? Ada vlog di mana guru tak makan dengan baik, karena harus makan bersama anak-anak. Anak-anaknya bagaimana? Mereka menurutimu?
Pasien : Apa kau orang tua?
Yeo Jeong : Tidak. Aku bukan tertarik kepada anak-anak, hanya ingin tahu rasanya jadi guru.
Hye Jeong di toilet, mencuci tangannya. Tanpa dia sadari, Hyeon Nam memperhatikannya. Hye Jeong lalu beranjak untuk mengambil tisu dan meninggalkan ponsel dan tasnya di dekat sink. Saat itulah kesempatan emas untuk Hyeon Nam. Dia menukar ponsel Hye Jeong dengan ponsel yang dia miliki lalu buru2 pergi.
Begitu Hyeon Nam pergi, Hye Jeong mendekati ponselnya. Dia mengambil ponsel dan tasnya begitu saja, lalu mendorong kopernya keluar dari toilet.
Sebuah pesawat mendarat di Bandara Shanghai.
Di kamar hotel, seorang wanita muda tampak berpakaian rapi. Lalu Hye Jeong keluar dari kamar mandi, memakai baju handuk. Dia berjalan melewati wanita itu, sambil menatap remeh wanita itu.
Hye Jeong memakai krim tangannya lalu menatap wanita itu lagi.
“Berat badanmu turun?”
“Ya, sedikit.”
Hye Jeong duduk di kasur dan marah.
“Sudah kusuruh berat badanmu sama denganku. Nanti bajunya kurang pas! Kau mau dapat ulasan buruk?”
“Maafkan aku.”
“Kembalikan yang itu. Berikutnya.”
Wanita itu langsung melepas pakaiannya dan mencoba pakaian lain.
Hye Jeong : Naikkan berat badanmu sebelum penerbangan berikutnya. Jika berat badanmu berubah lagi…
Hye Jeong melihat ponselnya dan kaget.
Hye Jeong : Apa-apaan ini? Ponselku kenapa?
Wanita itu melihat ponsel Hye Jeong, lalu bertanya apa itu ponsel penumpang asing karena background foto di ponsel itu adalah pasangan asing.
Hye Jeong : Bagaimana aku tahu! Cepat hubungi Bandara Incheon! Tanya apa ada ponsel hilang.
Dong Eun dan Hyeon Nam bertemu lagi malam hari.
Hyeon Nam memberikan ponsel Hye Jeong, lengkap dengan gambar polanya ke Dong Eun.
Dong Eun tercengang menatap Hyeo Nam.
Hyeon Nam berbangga diri.
Hyeon Nam : Mudah saja. Butuh apa lagi? Katakan saja.
Dong Eun menanggapinya dingin.
Dong Eun : Kerjamu bagus. Sampai jumpa lagi.
Hyeon Nam pun langsung menahan Dong Eun.
Hyeon Nam : Kau bersikap dingin setiap kita bertemu. Makan dahulu. Kukira kita akan bertemu di luar lagi. Aku suka yang waktu itu. Seperti piknik.
Hyeon Nam mengeluarkan 4 telur rebus dan juga minuman dari tasnya.
Hyeon Nam : Ini adalah sesuatu yang berarti. “Burung berjuang keluar dari telur. Telur adalah dunia.” Dari Raemian. Sun A membacanya.
Dong Eun : Burung itu tak bisa berjuang keluar. Kau merebusnya. Raemian itu kompleks apartemen. Bukunya berjudul Demian.
Hyeon Nam : Bukan kurebus, tetapi kupanggang. Apa tak boleh emosional hanya karena ingin balas dendam?
Hyeon Nam menaruh satu telur ke tangan Dong Eun.
Lalu dia memecahkan telur dengan keningnya. Tapi kemudian dia meringis karena memukulkan telur ke memar di keningnya.
Hyeon Nam : Aduh! Ada memar di situ! Pasti memar lagi.
Dong Eun mengalihkan pandangannya ke jendela.
Dia menghela nafas, berusaha menahan dirinya agar tidak marah.
Sa Ra seperti biasa, lagi menjadi Remaja Putri di gereja.
Saat ayahnya lagi memimpin doa, dia melihat Dong Eun yang duduk bersama jemaat lain. Sa Ra sontak tegang dan gelisah.
Dong Eun membawa tas besar, mengikuti Sa Ra yang berjalan ke tempat lain.
Sa Ra : Kenapa orang lusuh sepertimu ada di tempat seperti ini?
Dong Eun : Sa Ra, aku penasaran, jadi coba kutanya. Kau benar-benar percaya Tuhan? Sungguh?
Sa Ra tersinggung, ucapanmu itu menghujat. Bertobatlah jika tak mau merasakan hukuman Tuhan.
Dong Eun : Sungguh?
Sa Ra : Ya.
Dong Eun memejamkan matanya dan berdoa. Sa Ra heran menatap Dong Eun.
Tak lama, Dong Eun membuka matanya dan mendekati Sa Ra. Sa Ra sontak mundur ke belakang. Dong Eun bilang dia baru berdoa dan membuat kesepakatan dengan Tuhan.
Dong Eun : Dia tak keberatan.
Sa Ra : Jalang gila. Kau keterlaluan. Kau jadi masa bodoh karena kita sudah dewasa?
Dong Eun : Jaga ucapanmu, Sa Ra-ya. Kita berada di Rumah Tuhan. Sebentar.
Dong Eun berdoa lagi.
Tak lama, dia membuka matanya lagi dan menatap Sa Ra.
Dong Eun : Astaga. Tuhanmu sangat marah sekarang. Kata-Nya kau akan ke neraka.
Sa Ra, hei! Kau sudah gila? Kau teler?
Dong Eun : Kau yang memakai narkoba. Banyak sekali. Juga sering.
Sa Ra : Apa maksud jalang ini?
Sa Ra mau pergi, tapi Dong Eun melemparkan tasnya ke lantai.
Dong Eun : Kuberi waktu 15 hari. Isi dengan uang tunai, tunggu teleponku. Uang dolar.
Sa Ra mencengkram kedua bahu Dong Eun.
Sa Ra : Ini mengancam. Dasar jalang! Kau tahu berapa polisi berpangkat tinggi yang ke gereja ini?
Dong Eun : Kau belum pernah diancam, ya?
Dong Eun menjambak Sa Ra.
Sa Ra : Hei, lepaskan aku!
Dong Eun beneran ngelepasin Sa Ra. Dia mendorong Sa Ra ke arah kursi.
Sa Ra makin kesal. Terlebih lagi saat melihat ada helaian rambutnya di tangan Dong Eun.
Dong Eun : Aku bahkan belum mulai mengancammu. Sa Ra-ya.
Dong Eun meniup rambut Sa Ra dari tangannya dan beranjak pergi.
Bersambung ke part 2…